• Beranda
  • Profil
    • Sejarah Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM
    • Visi & Misi
    • Lokasi
    • Logo
  • Organisasi
    • Struktur Organisasi
    • Sekretariat
    • Profil Pimpinan Tinggi Madya & Pratama
    • Pusat Strategi Kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum
    • Pusat Strategi Kebijakan Pelayanan Hukum
    • Pusat Strategi Kebijakan Tata Kelola Hukum
    • Pusat Strategi Evaluasi dan Publikasi Kebijakan Hukum
  • Layanan
    • Standar Pelayanan BSK Kumham
    • Pelayanan Kajian dan Penelitian
    • Pelayanan Penyediaan Narasumber
    • Pelayanan Elektronik Book (E-Book)
    • Pelayanan Elektronik Journal (E-Journal)
    • Pelayanan Perpustakaan
    • BSK Reform
    • Jenis Pelayanan dan Fasilitas
    • Maklumat Layanan
    • Reformasi Birokrasi BSK
      • Reformasi Birokrasi
      • Rencana Prioritas
    • Peraturan Terkait
      • Peraturan Perundang-Undangan
  • Produk
    • Pustala
    • Pusaka PPH
    • Pusyankumham
    • Pusevin
    • E-Book BSK
  • Publikasi
    • Informasi Publik
      • Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
      • Rencana Strategis (RENSTRA)
      • Rencana Kinerja (RENJA)
      • Indikator Kinerja Utama (IKU)
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Tahunan
      • Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP)
      • Laporan Barang Milik Negara
        • Pedoman & SOP Pengelolaan BMN Keadaan Darurat
      • Perjanjian Kinerja
      • Publikasi Dokumen Perencanaan
      • SOP
    • Prosiding
    • Berita
    • Berita Kantor Wilayah
    • Artikel Media
    • Artikel Populer
    • Info SDM
    • Pengumuman
    • Hasil Survei Kepuasan Masyarakat
  • Jurnal
    • Jurnal Penelitian Hukum DeJure
    • Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
    • Jurnal Hak Asasi Manusia
  • Aplikasi
    • SipkumAI
    • Kumham Search
    • Literasi Kebijakan
    • Legal Policy Hub
    • Ejournal
    • Digital Library
    • JDIH
    • Survei 3AS
    • Balitbangkumham Press
    • Intraweb
Tuesday, 14 October 2025
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM
    • Visi & Misi
    • Lokasi
    • Logo
  • Organisasi
    • Struktur Organisasi
    • Sekretariat
    • Profil Pimpinan Tinggi Madya & Pratama
    • Pusat Strategi Kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum
    • Pusat Strategi Kebijakan Pelayanan Hukum
    • Pusat Strategi Kebijakan Tata Kelola Hukum
    • Pusat Strategi Evaluasi dan Publikasi Kebijakan Hukum
  • Layanan
    • Standar Pelayanan BSK Kumham
    • Pelayanan Kajian dan Penelitian
    • Pelayanan Penyediaan Narasumber
    • Pelayanan Elektronik Book (E-Book)
    • Pelayanan Elektronik Journal (E-Journal)
    • Pelayanan Perpustakaan
    • BSK Reform
    • Jenis Pelayanan dan Fasilitas
    • Maklumat Layanan
    • Reformasi Birokrasi BSK
      • Reformasi Birokrasi
      • Rencana Prioritas
    • Peraturan Terkait
      • Peraturan Perundang-Undangan
  • Produk
    • Pustala
    • Pusaka PPH
    • Pusyankumham
    • Pusevin
    • E-Book BSK
  • Publikasi
    • Informasi Publik
      • Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
      • Rencana Strategis (RENSTRA)
      • Rencana Kinerja (RENJA)
      • Indikator Kinerja Utama (IKU)
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Tahunan
      • Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP)
      • Laporan Barang Milik Negara
        • Pedoman & SOP Pengelolaan BMN Keadaan Darurat
      • Perjanjian Kinerja
      • Publikasi Dokumen Perencanaan
      • SOP
    • Prosiding
    • Berita
    • Berita Kantor Wilayah
    • Artikel Media
    • Artikel Populer
    • Info SDM
    • Pengumuman
    • Hasil Survei Kepuasan Masyarakat
  • Jurnal
    • Jurnal Penelitian Hukum DeJure
    • Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
    • Jurnal Hak Asasi Manusia
  • Aplikasi
    • SipkumAI
    • Kumham Search
    • Literasi Kebijakan
    • Legal Policy Hub
    • Ejournal
    • Digital Library
    • JDIH
    • Survei 3AS
    • Balitbangkumham Press
    • Intraweb
No Result
View All Result
BSK Kemenkum
No Result
View All Result
Home Artikel Media

PROBLEMATIKA POSISI INDONESIA PADA SENGKETA INVETASI DI FORUM ARBITRASE INTERNATIONAL CENTER FOR SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTE ICSID

Badan Strategi Kebijakan by Badan Strategi Kebijakan
August 25, 2024
in Artikel Media
0
0

Penulis : Clarissa Nadya Arina, S,H

(Analis Hukum Pertama Pada Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM)

Masalah arbitrase merupakan salah satu isu hukum yang cukup aktual dan menarik untuk dibicarakan, karena memiliki peran penting dalam kaitannya dengan dunia bisnis yang semakin berkembang pesat akhir-akhir ini. Dalam dunia usaha dan lalu lintas di bidang perdagangan, baik di tingkat nasional maupun internasional, para pelaku usaha dalam kontrak bisnis mereka umumnya lebih menyukai lembaga arbitrase dari pada lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi di antara mereka, sehingga penggunaan lembaga arbitrase pun semakin populer dan meningkat jumlahnya. Bahkan kini penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase merupakan kebutuhan bahkan idola bagi para pelaku bisnis. Menyikapi kebutuhan dunia usaha akan penyelesaian sengketa non litigasi ini, pada level nasional,pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai landasan hukum pelaksanaan arbitrase di Indonesia. Pada level internasional, tanggal 10 Juni 1958 ditandatanghani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berjudul “Convention on the recognition and Enforcement of Foreign Arbitral”. Konvensi PBB yang disebut New York Convention 1958 tersebut adalah mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang telah diakui, disahkan dan diundangkan /dinyatakan berlaku sebagai norma hukum yang mengikat. Konvensi tersebut diimplementasikan di Indonesia melalui hukum positif yang telah dimiliki terkait arbitrase, melalui Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958.

Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Masyarakat hukum dunia juga telah menyepakati Convention on the Settement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States atau disebut juga dengan Konvensi Washington yang telah membentuk perangkat arbitrasi khusus mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal, yakni International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID).Indonesia meratifikasi Konvensi Washington, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal antara Negara dengan Warga Negara Asing. Terkait melalui arbitrase Indonesia mengundangkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS). UU Arbitrase dan APS menjadi pondasi utama bagi pelaksanaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan lain yang mengatur penyelesaian sengketa dalam bidang penanaman modal di Indonesia adalah Bab XV Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Salah satu Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase Internasional yang saat ini kian marak perkembangannya dialami oleh Indonesia sebagai host country of investment yang telah beberapa kali digugat oleh investor asing melalui arbitrase. Salah satu isu penting dalam perjanjian investasi adalah bagaimana penegakan hukum kontrak, agar terdapat kepastian mengenai pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum), sebagai antisipasi apabila terjadi sengketa investasi di kemudian hari. Dalam hukum kontrak, sebagai konsekuensi logis dari diberlakukannya prinsip kebebasan berkonrak (freedom of contract) antara para pihak dapat menentukan kesepakatan pilihan hukum dan pilihan forum sebagai antisipasi apabila di kemudian hari terjadi sengketa investasi. Jika para pihak tidak menjalankan kesepakatan tersebut ketika terjadi sengketa di antara mereka, maka timbul masalah penegakan hukum kontrak, karena para pihak tidak dapat mentaati perjanjian yang mereka buat mengenai pilihan hukum dan pilihan forum. Sengketa investasi adalah salah satu fenomena yang terjadi di banyak negara dan berlangsung sejak lama.

Sengketa investasi bisa terjadi di antara para pihak sebagai berikut: (i) sengketa investasi antar-negara, (ii) sengketa investasi negara dengan subyek hukum bukan negara, (iii) sengketa investasi antara subyek hukum bukan negara satu sama lain, dan (iv) sengketa investasi antara investor dengan masyarakat setempat. Pada penelitian ini sengketa investasi yang dimaksudkan adalah antara investor asing dengan negara negara penerima investasi (host country of investment). Terdapat tiga alternatif cara penyelesaian sengketa investasi, yakni: (i) berdasarkan musyawarah mufakat, (ii) melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (APS), dan (iii) melalui pengadilan., (iv) melalui arbitrase internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika para pihak tidak mencantumkan kesepakatan mengenai pilihan hukum dan pilihan forum dalam hal terjadi sengketa, maka tidak setiap sengketa investasi pemerintah dengan PMA secara otomatis harus diselesaikan oleh Dewan Arbitrase ICSID. Ketika investor hendak mengajukan suatu persoalan ke ICSID, maka terdapat satu persyaratan bahwa pengajuan tersebut harus disetujui terlebih dahulu oleh negara penerima investasi (host country of invesment), kecuali para pihak telah membuat kesepakatan sebelumnya bahwa jika terjadi sengketa investasi, akan diselesaikan melalui arbitrase internasional. Menurut ketentuan Pasal 25 ayat (3) Konvensi ICSID, disebutkan syarat bahwa setiap sengketa atau perselisihan antara penanam modal asing baik dengan Pemerintah Indonesia maupun dengan pihak partner lokal diharuskan melalui semua upaya hukum dan administratif dari negara penerima modal terlebih dahulu sebelum mengajukan kepada lembaga ICSID, Jika antara para pihak terjadi kesepakatan bahwa penyelesaian sengketa penanaman modal asing tersebut akan diselesaikan melalui ICSID, maka jika terjadi sengketa investasi dan tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat, penyelesaiannya secara arbitrase internasional dapat melalui ICSID dengan persyaratan mengenai penentuan jenis sengketa tersebut yang harus disesuaikan terlebih dahulu dengan kewenangan (yurisdiksi) pada ICSID, sebagaimana yurisdisksi secara eksplisit diatur dalam Konvensi ICSID Pasal 25 ayat (1). Selain berdasarkan Undang-Undang Penanaman Modal, penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga diselesaikan berdasarkan perjanjian modal bilateral atau bilateral investment treaty (BITs) yang disepakati antara Indonesia dengan negara lain. Indonesia saat ini menjadi pihak pada lebih 60 BIT yang berlaku mengikat (in force).

Pada semua BITs yang disepakati ada ketentuan tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dan hampir semua BIT merujuk mekanisme penyelesaian pada arbitrase ICSID. Selebihnya, penyelesaian arbitrase dilakukan melalui arbitrase International Chamber of Commerce (ICC), atau melalui arbitrase ad hoc dengan memakai prosedur arbitrase United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Dewasa ini, akibat perkembangan investasi global yang sangat pesat, dibentuklah penyelesaian sengketa investasi dengan mekanisme penyelesaian sengketa negara-investor atau biasa disebut Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kepentingan investor asing yang melakukan investasi di negara penerima (host country of investment) sehingga akan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di negara lain. Secara umum dapat disimpulkan dari 10 gugatan investor terhadap Indonesia sebagai negara penerima investasi (host country investment), Pemerintah Indonesia lebih banyak menang dalam ISDS. Pemerintah Indonesia memenangkan lima sengketa ISDS, kalah pada tiga kasus. Sedangkan dua kasus lagi, ada kasus yang ditolak ICSD karena negara (RI) yang menggugat, sedangkan ICSID menerima kasus gugatan jika investor yang menggugat. Kasus lainnya adalah karena pihak penggugat (investor) mencabut gugatannya ke ICSID. Makna dari RI banyak menang daripada kalah dalam arbitrase di ICSID membuktikan bahwa tidak benar seluruhnya jika dikatakan bahwa mekanisme ISDS dan tribunal ICSID hanya berpihak pada investor. Secara umum dapat diikhtisarkan bahwa Pemerintah Indonesia lebih banyak menang dalam ISDS. Pemerintah Indonesia memenangkan empat sengketa ISDS, dan hanya kalah pada dua kasus. Di luar kasus “menang-kalah” tersebut, pihak penggugat (investor) mencabut gugatannya, atau para pihak menyelesaikan sengketa di luar arbitrase. Kasus sengketa investasi di mana pemerintah Indonesia kalah adalah Kasus Amco vs Indonesia (1983). Indonesia kalah dan diwajibkan membayar kompensasi sebesar USD 2,7 juta kepada PT Amco. Pada kasus Himpurna dan Patuha vs Indonesia (1999), Indonesia kalah dan harus membayar USD 392 juta kepada Himpurna, dan sebesar USD 180 juta kepada Patuha. Pada kasus Cemex vs Indonesia (2004), pemerintah Indonesia harus membayar kompensasi kepada Cemex sebesar USD 337 juta. Kasus sengketa investasi di mana pemerintah Indonesia menang adalah Kasus Rizvi vss Indonesia (2012), di mana ICSID memenangkan Indonesia dan beranggapan bahwa investasi yang dilakukan Rizvi tidak sesuai dengan ketentuan dalam P4M antara RI dan Inggris. Pada kasus Al-Waraq vs Indonesia (2012), Tribunal memutuskan bahwa kebijakan bailout Bank Century memenuhi ketentuan Pasasl 9 dan untuk itu, Indonesia tidak dapat dianggap melanggar P4M OKI. Pada kasus Churchill Mining dan Planet Mining vs Indonesia (2012), Indonesia memenangkan sengketa ini. Tribunal menghukum Churcill Mining dan Planet Mining untuk membayar ganti rugi biaya perkara Indonesia sebesar USD 8,7 juta. Indonesia juga memenangkan sengketa investasi pada kasus Nusa Tenggara Newmont vs Indonesia (2009), di mna UNCTIRAL menghukum Newmont untuk mendivesstasikan sahamnya dalam jangka waktu 180 hari, Newmont juga diharuskan untuk membayar ganti rugi sebesar USD 180 ribu kepada Pemerintah Indonesia. Pada kasus IMFA vs Indonesia (2015) gugatan IMFA ditolak karena gugatan IMFA salah alamat, karena seharusnya diajukan kepada PT SSSR, bukan kepada Pemerintah Indonesia. Kasus sengketa dimana ICSID tidak bisa berperan sebagai arbitrase, sehingga tidak bisa menjatuhkan putusan adalah kasus Kaltim vs PT kaltim Prima Coal (2009). Pada kasus ini ICSID menyatakan bahwa pihaknya tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili sengketa investasi, karena berdasarkan Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) yang dapat menjadi penggugat adalah investor asing bukan negara; sedangkan pada kasus ini penggugat adalah Pemda Kaltim. Di luar kasus “menang-kalah” tersebut, pihak penggugat (investor) mencabut gugatannya ke ICSID, yakni kasus Oleovest vs Indonesia (2016). Terkait dengan posisi aktual Indonesia pada sengketa ISDS, terdapat sejumlah perkembangan yang diasumsikan dapat berimplikasi pada posisi RI dalam forum arbitrase ICSID. Ketiga perkembangan tersebut adalah mengenai kebijakan Indonesia untuk membatalkan BIT, rencana terbentuknya RCEP, dan wacana mengenai gugatan balik dari tergugat kepada penggugat (counter-claim) dalam konten BIT. Mengenai kebijakan pengakhiran BIT sepihak dilakukan Indonesia terhadap lebih 60 BITs yang ditandatangani dengan lebih 50 negara, termasuk sejumlah negara maju seperti Australia, Perancis, Inggris, hingga Federasi Rusia. Keputusan terminasi BIT tersebut di satu sisi menunjukkan upaya Indonesia untuk menjadi negara yang lebih berdaulat terkait investasi asing dan menciptakan mekanisme sengketa antara investor dan negara (ISDS) yang bukan hanya diterima secara internasional, namun juga diterima di dalam negeri.

Pembatalan BIT tentu sedikit banyak akan berimplikasi pada mekanisme sengketa antara investor dan negara (ISDS) pada forum arbitrase ICSD dan juga forum sejenis seperti UNCITRAL,Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, dan lain-lain. Bahwa pembatalan BIT itu akan berimplikasi pada ISDS dan forum arbitrase ICSID, karena dalam BIT diatur kesepakatan mengenai mekanisme ISDS dan ICSID. Persoalannya, jika BIT dibatalkan, maka perjanjian atau dasar hukum apa yang mengatur ISDS, dan sejuah mana pihak investor dapat menerima. Masalah selanjutnya adalah mengenai munculnya wacana gugatan balik dari tergugat kepada penggugat dalam ISDS. Hal ini dikarenakan timbul asumsi bahwa pengaturan penyelesaian sengketa investasi dengan mekanisme ISDS dinilai lebih berpihak kepada investor daripada berpihak kepada negara penerima investasi. Hal ini disebabkan sebagian besar International Investment Agreement (IIA) mengizinkan ISDS diajukan investor, karena dalam praktiknya investor merupakan satu-satunya penggugat yang diizinkan. Ketidakseimbangkan dalam keberpihakan pada mekanisme ISDS inilah yang memunculkan wacana counter-claim gugatan balik dari tergugat kepada penggugat yang bisa dilakukan negara penerima investasi dalam mekanisme ISDS. Sejauh ini gugatan balik dari tergugat kepada penggugat sangat jarang terjadi. Dari 684 BITs yang digugat di ISDS, gugatan balik dari tergugat kepada penggugat tidak melebihi 15 kasus. Wacana gugatan balik dari tergugat kepada penggugat sejauh ini belum dimasukkan dalam klausula ISDS, padahal gugatan balik dari tergugat kepada penggugat dapat memberikan rasa keadilan bagi negara penerima investasi. Gugatan balik dari tergugat kepada penggugat dapat mengefisienkan mekanisme arbitrase karena dilakukan negara penerima investasi pada forum arbitrase yang sama (ICSID, UNCITRAL, London Court of International Arbitration, ICC, atau forum arbitrase lainnya yang disepakati para pihak). Gugatan balik dari tergugat kepada penggugat juga merupakan sarana bagi negara penerima investasi untuk mempertahankan reputasinya sebagai negara penerima investasi yang ramah investor. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Januari-Februari 2020 membahas masalah gugatan balik dari tergugat kepada penggugat tersebut. Tidak mudah suatu pihak untuk melakukan counter-claim, pada pihak lainnya karena sekurang-kurangnya harus memenuhi sejumlah persyaratan. Di antaranya adalah bahwa gugatan balik dari tergugat kepada penggugat dapat dijadikan sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa investasi, apabila sebelumnya, yakni pada perjanjian investasi di antara kedua negara telah disepakati bersama mengenai adanya mekanisme counter claim, untuk menentukan yurisdiksi pengadilan dalam arbitrase investasi. Hal ini berarti harus terdapat persetujuan sebelumnya di antara para pihak sehubungan dengan gugatan balik dari tergugat kepada penggugat.

Pada perjanjian investasi harus disepakati di antara pihak bukan hanya mengenai penentuan yurisdiksi pengadilan arbitrase terkait klaim, namun juga klaim balasan. Berkaitan dengan implikasi pada ISDS dan forum ICSID yakni adanya negosiasi pada kemitraan ekonomi komprehensif regional (Regional Comprehensive Economic Partnership, RCEP) yang telah berlangsung sejak tahun 2012. Pada forum tersebut, India, Indonesia, dan Australia menghendaki agar ISDS ditinjau ulang, sedangkan China bersikeras agar ISDS dilanjutkan. Perundingan RCEP hingga 2019 menunjukkan bahwa mekanisme ISDS tidak diatur dalam RCEP. Tidak tercapainya kesepakatan mengenai ISDS dalam RCEP merupakan bukti kuat penolakan negara-negara anggota RCEP terhadap ISDS. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengemukakan bahwa meksnisme ISDS adalah hak eksklusif yang diberikan kepada investor asing dalam perjanjian perdagangan dan investasi internasional. Mekanisme ISDS dinilai akan membuat negara tersandera dengan kepentingan investor karena telah memberikan imunitas hukum bagi investor. Sikap Indonesia terkait dengan ISDS dalam RCEP tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Trade Negotiating Commitee (TNC) RCEP, Iman Pambagyo, adalah Indonesia mengusulkan agar penyelesaian ISDS harus dituntaskan di pengadilan setempat. Jika penyelesaian sengketa investasi tersebut akan berlanjut ke mekanisme arbitrase internasional, Indonesia mengusulkan agar hal itu mendapat persetujuan pemerintah terlebih dahulu. Sikap Indonesia ini bertentangan dengan sikap negara-negara maju yang berpendapat bahwa jika sengketa investasi di pengadilan setempat gagal, dan kemudian berlanjut ke mekanisme arbitrase nasional, sehingga dilakukan secara otomatis tanpa harus memperoleh persetujuan dari pemerintah pada host country.

Previous Post

PRESENTASI RANCANGAN KAJIAN TENTANG PELAKSANAAN PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL TERTENTU PEMBIMBING KEMASYARAKATAN OLEH DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN

Next Post

Profesionalisme yang baik, kunci pelayanan kesehatan yang maksimal untuk mewujudkan Indonesia Sehat

Next Post
Profesionalisme yang baik, kunci pelayanan kesehatan yang maksimal untuk mewujudkan Indonesia Sehat

Profesionalisme yang baik, kunci pelayanan kesehatan yang maksimal untuk mewujudkan Indonesia Sehat

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ikuti Kami

  • Trending
  • Comments
  • Latest
User Manual Responden – Aplikasi Indeks Layanan Kesekretariatan

User Manual Responden – Aplikasi Indeks Layanan Kesekretariatan

September 9, 2024

Sosialisasi Indeks Layanan Kesekretariatan

September 9, 2024
Diskusi Publik Naskah Pra Kebijakan tentang Perlindungan Hukum Melalui Jalur Non Litigasi Bagi Masyarakat Adat

Diskusi Publik Naskah Pra Kebijakan tentang Perlindungan Hukum Melalui Jalur Non Litigasi Bagi Masyarakat Adat

August 22, 2024

Memberantas Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Pelajar SMA

August 24, 2024

Sosialisasi Indeks Layanan Kesekretariatan

1
Tingkatkan Kualitas Kepenulisan, BSK Kumham Adakan Workshop

Tingkatkan Kualitas Kepenulisan, BSK Kumham Adakan Workshop

1

DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM tahun 2021

0

DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM tahun 2022

0
Aspek Kebaharuan KUHP Nasional

Aspek Kebaharuan KUHP Nasional

October 13, 2025
BSK Hukum Gelar Policy Talks: Perkuat Kompetensi Analis Kebijakan melalui Legal Policy Hub

BSK Hukum Gelar Policy Talks: Perkuat Kompetensi Analis Kebijakan melalui Legal Policy Hub

October 9, 2025
WTP ke-16, Akhir ‘Manis’ Kemenkumham Sebelum Transformasi Kelembagaan

WTP ke-16, Akhir ‘Manis’ Kemenkumham Sebelum Transformasi Kelembagaan

October 3, 2025
Audiensi Tim Analisis Kajian Daktiloskopi dan OPHI: Kepala BSK Hukum Tekankan Rekomendasi Harus Lebih Terarah dan Konkret

Audiensi Tim Analisis Kajian Daktiloskopi dan OPHI: Kepala BSK Hukum Tekankan Rekomendasi Harus Lebih Terarah dan Konkret

October 3, 2025

Recent News

Aspek Kebaharuan KUHP Nasional

Aspek Kebaharuan KUHP Nasional

October 13, 2025
BSK Hukum Gelar Policy Talks: Perkuat Kompetensi Analis Kebijakan melalui Legal Policy Hub

BSK Hukum Gelar Policy Talks: Perkuat Kompetensi Analis Kebijakan melalui Legal Policy Hub

October 9, 2025
WTP ke-16, Akhir ‘Manis’ Kemenkumham Sebelum Transformasi Kelembagaan

WTP ke-16, Akhir ‘Manis’ Kemenkumham Sebelum Transformasi Kelembagaan

October 3, 2025
Audiensi Tim Analisis Kajian Daktiloskopi dan OPHI: Kepala BSK Hukum Tekankan Rekomendasi Harus Lebih Terarah dan Konkret

Audiensi Tim Analisis Kajian Daktiloskopi dan OPHI: Kepala BSK Hukum Tekankan Rekomendasi Harus Lebih Terarah dan Konkret

October 3, 2025
BSK Kemenkum

Badan Strategi Kebijakan Hukum merupakan salah satu Unit Kerja Eselon I (UKE-I) di lingkungan Kementerian Hukum RI, yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan, penyusunan, dan pemberian rekomendasi strategi kebijakan di bidang hukum

Ikuti Kami

Total Visitors
5499291
10031
Visitors Today
131
Live visitors

Tentang Kami

Jalan H. R. Rasuna Said Kav. 8, Jakarta Selatan 12920
[ Pengaduan ] 0811 944 5504
BSK Kumham
bsk.kemenkum.go.id
humas@balitbangham.go.id
FAQ

Copyright © 2024 Badan Strategi Kebijakan Hukum

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM
    • Visi & Misi
    • Lokasi
    • Logo
  • Organisasi
    • Struktur Organisasi
    • Sekretariat
    • Profil Pimpinan Tinggi Madya & Pratama
    • Pusat Strategi Kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum
    • Pusat Strategi Kebijakan Pelayanan Hukum
    • Pusat Strategi Kebijakan Tata Kelola Hukum
    • Pusat Strategi Evaluasi dan Publikasi Kebijakan Hukum
  • Layanan
    • Standar Pelayanan BSK Kumham
    • Pelayanan Kajian dan Penelitian
    • Pelayanan Penyediaan Narasumber
    • Pelayanan Elektronik Book (E-Book)
    • Pelayanan Elektronik Journal (E-Journal)
    • Pelayanan Perpustakaan
    • BSK Reform
    • Jenis Pelayanan dan Fasilitas
    • Maklumat Layanan
    • Reformasi Birokrasi BSK
      • Reformasi Birokrasi
      • Rencana Prioritas
    • Peraturan Terkait
      • Peraturan Perundang-Undangan
  • Produk
    • Pustala
    • Pusaka PPH
    • Pusyankumham
    • Pusevin
    • E-Book BSK
  • Publikasi
    • Informasi Publik
      • Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
      • Rencana Strategis (RENSTRA)
      • Rencana Kinerja (RENJA)
      • Indikator Kinerja Utama (IKU)
      • Laporan Keuangan
      • Laporan Tahunan
      • Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP)
      • Laporan Barang Milik Negara
      • Perjanjian Kinerja
      • Publikasi Dokumen Perencanaan
      • SOP
    • Prosiding
    • Berita
    • Berita Kantor Wilayah
    • Artikel Media
    • Artikel Populer
    • Info SDM
    • Pengumuman
    • Hasil Survei Kepuasan Masyarakat
  • Jurnal
    • Jurnal Penelitian Hukum DeJure
    • Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
    • Jurnal Hak Asasi Manusia
  • Aplikasi
    • SipkumAI
    • Kumham Search
    • Literasi Kebijakan
    • Legal Policy Hub
    • Ejournal
    • Digital Library
    • JDIH
    • Survei 3AS
    • Balitbangkumham Press
    • Intraweb

Copyright © 2024 Badan Strategi Kebijakan Hukum

Skip to content
Open toolbar Accessibility Tools

Accessibility Tools

  • Increase TextIncrease Text
  • Decrease TextDecrease Text
  • GrayscaleGrayscale
  • High ContrastHigh Contrast
  • Negative ContrastNegative Contrast
  • Light BackgroundLight Background
  • Links UnderlineLinks Underline
  • Readable FontReadable Font
  • Reset Reset